Selasa, 11 Agustus 2009

Seputar Ekonomi Neoliberalisme

Neoliberalisme (neoliberalism) merupakan sekumpulan kebijakan ekonomi yang merujuk kepada pemikiran bapak ekonomi Kapitalis Adam Smith.[1] Ruh pemikiran ekonomi Adam Smith adalah perekonomian yang berjalan tanpa campur tangan pemerintah. Model pemikiran Adam Smith ini disebut Laissez Faire.

Adam Smith memandang produksi dan perdagangan sebagai kunci untuk membuka kemakmuran. Agar produksi dan perdagangan maksimal dan menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam bingkai perdagangan bebas baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.[2]

Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip “kebebasan alamiah”, yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini mengandung pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan dan perputaran aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja. Smith juga memandang pembatasan kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[3]

Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh ”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik.[4] Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan.

Sebagai varian baru dari pemikiran ekonomi liberal, neoliberalisme dilahirkan untuk menandingi pemikiran ekonomi Keynesian yang mendominasi Barat selama tiga puluh tahun. Krisis minyak yang dimulai pada akhir tahun 1973 mengakibatkan resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi di atas 20% di sejumlah negara, dan menyeret negara-negara Dunia Ketiga tidak mampu membayar hutangnya. Sejak saat itu, negara-negara Kapitalis memandang doktrin Keynesian tidak mampu memberikan solusi bahkan dianggap sebagai penyebab krisis.[5]

Krisis minyak mendorong negara-negara Kapitalis menempuh cara baru di dalam mengelola perekonomiannya. Pembatasan fiskal dan kontrol atas money supply menjadi tren baru kebijakan ekonomi di negara-negara Barat. Tahun 1976, IMF memaksa Inggris memangkas belanja publik dan melakukan kontrol ketat atas inflasi. Menurut Norena Heertz, mulai saat itu doktrin Keynesian dengan big government-nya telah sekarat atau bahkan mengalami kematian.[6]

Kesimpulan Heertz tentang matinya doktrin Keynesian tergambar dalam pidato Perdana Menteri Inggris James Callaghan dalam Kongres Partai Buruh. Ia mengatakan: ”Selama ini, kita berpikiran bahwa anda dapat mengatasi krisis dan meningkatkan kesempatan kerja dengan menaikkan pengeluaran pemerintah. Saya beritahukan kepada anda bahwa sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi.” Di Amerika Serikat, Presiden Carter pun mengambil langkah memangkas pengeluaran publik sebagai bagian dari stimulus ekonomi.[7]

Di samping doktrin utama laissez faire dan pasar bebas (free market) yang sudah ada sejak Kapitalisme liberal Adam Smith, doktrin ekonomi neoliberal dikembangkan ke dalam kerangka liberalisme yang lebih sistematis. Elizabeth Martinez and Arnoldo Garcia menjelaskan lima kerangka utama neoliberalisme.[8]

1. Free market

Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market senantiasa menyatakan: ”Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.”

2. Pembatasan anggaran belanja publik

Anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pemenuhan air bersih, listrik, jalan umum, fasilitas umum, dan bantuan untuk orang miskin harus dikurangi dan dibatasi sehingga tidak membebani APBN. Pandangan ini sama saja dengan mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian dan pemenuhan kebutuhan publik. Namun di balik paham neoliberal ini, kalangan korporasi dan pemilik modal sangat mendukung subsidi dan pengurangan pajak yang menguntungkan bisnis mereka.

3. Deregulasi

Mengurangi atau bahkan menghapus peraturan-peraturan yang menghambat kepentingan bisnis korporasi dan pemilik modal.

4. Privatisasi

Menjual badan usaha, barang atau pelayan yang menjadi milik negara (BUMN) kepada investor, khususnya aset-aset dalam bentuk bank, industri-industri kunci, kereta api, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, dan air bersih. Alasan utama dilakukannya privatisasi untuk mengejar efisiensi. Namun pada faktanya privatisasi justru menciptakan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir orang-orang kaya sedangkan rakyat harus menanggung beban harga-harga public utilities yang mahal.

5. Menghilangkan konsep barang publik

Pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari tangan negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, masyarakat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka akan barang-barang publik.

Menurut I. Wibowo, kelahiran neoliberalisme didorong empat faktor utama, yaitu (1) munculnya perusahaan multinasional (multinational corporations – MNC) sebagai kekuatan riil dengan nilai aset lebih besar dari pada kekayaan yang dimiliki oleh negara-negara kecil. (2) Munculnya organisasi (rezim internasional) yang berfungsi sebagai surveillance system (sistem pengawasan) dalam memastikan prinsip-prinsip ekonomi liberal berjalan atas seluruh negara di dunia. (3) Revolusi bidang teknologi komunikasi dan transportasi yang menjadi katalisator dan fasilitator terlaksananya pasar bebas dan perdagangan bebas secara cepat ke seluruh dunia. (4) Keinginan negara-negara kuat untuk mendominasi dan menciptakan hegemoni atas negara-negara yang lebih lemah.[9]

Kelahiran neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi Kapitalisme.[10] Karakter liberal yang bersumbu pada ”kebebasan” dan menonjolkan ”kepentingan individu” senantiasa menjadikan kegiatan ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Philosuf Inggris Herbert Spencer memandang seleksi alam (survival of fittest)[11] sebagai prinsip wajib kegiatan ekonomi dalam sistem Kapitalisme.[12] Konsekwensinya, perekonomian berjalan dengan cara menindas yang lemah dan memfasilitasi yang kuat (pemilik modal) agar alokasi sumber daya (resources) dan penguasaan pasar berada di tangan pemilik modal.

Kapitalisme merupakan ideologi yang tegak di atas asas Sekularisme yang tumbuh dan berkembang pertama kali di Eropa. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengharamkan peranan Tuhan terhadap pemecahan permasalahan manusia, termasuk menentukan nilai baik dan buruk, benar dan salah.[13] Sekularisme menempatkan rasio (akal) manusia dan emperisme di atas segala-galanya.[14] Dengan Sekularisme, Kapitalisme memandang dunia dan memecahkan permasalahan kehidupan. Akibatnya Kapitalisme menjadi ideologi yang tidak bermoral, mengedepankan profit dan kepuasan materi, serta menindas umat manusia.

Menurut Betrand Russel, inti pemikiran yang terkandung dalam Sekularisme adalah kebebasan individu.[15] Kebebasan indvidu diperlukan untuk menjaga dan menyebarkan Sekularisme ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior).[16]

Kebebasan kepemilikan adalah paham yang memandang seseorang dapat memiliki harta/modal dan mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun.[17] Dari prinsip kebebasan kepemilikan inilah lahir pandangan tentang sistem ekonomi Kapitalis. Bahkan karena peranan pemilik modal (kaum kapitalis) sangat menonjol dalam negara sehingga merekalah penguasa sebenarnya daripada para politisi, maka ideologi yang berasas Sekularisme ini pun disebut ideologi Kapitalisme.[18]

Implikasi kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari kebebasan individu adalah dominasi kepemilikan individu di tengah perekonomian. Meskipun prinsip kebijakan negara menata jalannya perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire), namun karena dominasi pemilik modal atas sistem politik dan perundang-undangan, kebijakan negara justru tunduk pada kepentingan kaum kapitalis.

Sektor-sektor perekonomian yang secara faktual menguasai hajat hidup orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme pasar yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis. Secara logis laissez faire hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mencegah dominasi negara atas perekonomian, menghalang-halangi distribusi kekayaan yang adil di tengah masyarakat, dan menjadikan negara sebagai alat untuk melegalisasi ”kerakusan” kaum kapitalis. Dalam sistem ini fungsi negara hanyalah untuk merealisasikan kepentingan segelintir individu saja.

Adapun perubahan pemikiran ekonomi dari mainstream (aliran utama) ekonomi pasar yang liberal ke mainstream Keynesian yang sarat intervensi negara (big government) pasca Depresi Besar (Great Depression) 1929, dan kembali liberal pasca krisis minyak dunia 1973 dengan mainstream neoliberalnya merupakan dinamika pemikiran ekonomi yang berkembang dalam sistem Kapitalisme. Dinamika pemikiran ini tidak mengubah ideologi Kapitalisme itu sendiri walau pun di dalamnya terdapat aliran-aliran pemikiran yang saling bertolakbelakang dan kebijakan yang saling kontradiktif. Sebab hakikatnya tidak ada perubahan pada asas Sekularisme yang menjadi pikiran pokok dan standar nilai Kapitalisme. Perubahan hanya terjadi pada pemikiran cabang ideologi ini, yakni pemikiran ekonomi.

Ketika ekonomi pasar mengalami kehancuran konseptual dengan krisis berat yang melanda Barat pada 1929, J.M. Keynes maju dengan pemikiran yang bertolakbelakang dengan ekonomi pasar yang terangkum dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (pertama kali terbit 1936). Keynes menawarkan alternatif bahwa negara harus melakukan intervensi untuk mengangkat kembali perekonomian dari keterpurukan. Negara harus mengisi kekosongan peranan swasta yang sebelumnya mendominasi perekonomian. Negara harus menjalankan kebijakan defisit dengan membuat anggaran belanja yang lebih besar untuk menciptakan lapangan kerja.

Apa yang dilakukan Keynes dan kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat bukanlah sebuah pengingkaran terhadap Kapitalisme. Menurut Mark Skousen, Keynes justru menjadi penyelamat Kapitalisme dari kehancuran.[19] Meskipun pemikiran ekonominya bertolakbelakang dengan doktrin laissez faire, Keynes tidak melepaskan tolak ukur pemikirannya dari Sekularisme.[20]

Abdurrahman al-Maliki memandang Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dengan strategi ”tambal sulam”. Strategi ini digunakan untuk menutupi kebobrokan Kapitalisme dan melestarikan keberadaan institusinya dari kebangkrutan. Strategi ”tambal sulam” dijalankan dengan cara mencangkokkan ide tentang keadilan sosial ke dalam negara (welfare state) dengan konsekwensi pergeseran peranan ekonomi dari tangan swasta ke tangan negara (big government).[21]

James Petras melihat dalam sebuah rezim yang menganut Kapitalisme, pemerintah memiliki dua buah rencana. Yakni rencana yang beroirentasi liberal (neoliberalism) dan berorientasi kesejahteraan sosial (social welfare). Jika kebijakan orisinil (ekonomi liberal) mengalami kegagalan maka pemerintah akan mengubah orientasi kepada kesejahteraan sosial. Perubahan ini semata-mata untuk merebut hati masyarakat dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan sistem.[22]

Dinamika pemikiran ekonomi yang saling bertolakbelakang dalam Kapitalisme merupakan konsekwensi logis dari ideologi ini dalam menentukan sumber hukum. Sebab sumber hukum dalam Kapitalisme digali dari realitas,[23] sehingga perkembangan pemikiran ekonomi sangat bergantung pada perkembangan realitas ekonomi di tingkat domestik dan dunia. Sedangkan realitas ekonomi yang berkembang merupakan hasil penerapan Kapitalisme itu sendiri. Jika realitas ekonomi tidak kondusif bagi Kapitalisme yang memaksa negara memodifikasi kebijakan ekonominya secara prinsipil, maka itulah tanda kelemahan dan kebobrokan sistem Kapitalisme.

Misalnya, realitas sekarang menunjukkan krisis finansial global yang terjadi sejak 2007 telah meluluhlantakkan sistem keuangan negara-negara kapitalis dengan kerugian trilyunan dolar AS, dan ancaman kebangkrutan tidak hanya menimpa korporasi finansial tetapi juga korporasi yang bergerak di sektor riil di seluruh dunia. Jika negara-negara kapitalis tidak melakukan intervensi di sektor finansial dan penyelamatan sektor riil untuk menjaga konsistensi doktrin laissez faire, maka sudah dapat dipastikan sistem keuangan Barat berada di jalan buntu, kebangkrutan korporasi secara massal, PHK yang jauh lebih besar dari PHK massal tahun ini (2008), jatuhnya daya beli masyarakat dalam tingkat yang siknifikan, dan kepanikan yang sangat mungkin menciptakan prahara ekonomi jauh lebih dasyat dibandingkan Depresi Besar 1929.

Karena itu bailout dan berbagai bentuk intervensi lainnya yang terjadi secara massive harus dilihat sebagai upaya penyelamatan institusi ideologi Kapitalisme walau pun negara-negara penganut Kapitalisme harus mengingkari ”akidah” ekonominya yakni laissez faire.[24] Di satu sisi intervensi ini mencerminkan negara-negara kapitalis telah berlaku ”munafik”,[25] di sisi lain intervensi tersebut merefleksikan ”konsistensi” negara kapitalis dalam melindungi kepentingan pemilik modal dan selalu membebankan biayanya ke pundak rakyat.

Realitas ekonomi yang buruk pada dasarnya cermin kegagalan sistem Kapitalisme. Meskipun secara institusi Kapitalisme belum berakhir, namun secara konseptual (ide) Kapitalisme telah mengalami kebangkrutan bahkan sejak Depresi Besar 1929.

Sebagai ideologi buatan manusia yang tentu saja memiliki cacat bawaan, negara-negara kapitalis senantiasa melakukan metode tambal sulam untuk menutupi kebobrokan Kapitalisme. Jika sekarang di negara-negara Barat Laissez Faire sedang dicampakkan, neoliberalisme sedikit dipinggirkan dengan adanya nasionalisasi parsial, maka hakikatnya Barat sedang menambal kecacatan ideologi untuk mencegah keruntuhan institusinya. Tambal sulam ini dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu, yakni pada saat pemerintahan-pemerintahan Barat tidak dapat menghadapi realitas ekonomi di negara mereka hanya dengan laissez faire.[26] []

Hidayatullah Muttaqin adalah dosen tetap Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPD I HTI Kalimantan Selatan.


[1] Lihat Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal. 54.

[2] Mark Skousen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, (The Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada, 2006), hal. 21-22.

[3] Ibid, hal. 22.

[4] Ibid, hal. 26.

[5] Norena Heertz, Hidup di Dunia Material: Munculnya Gelombang Neoliberalisme, dalam Neoliberalisme, editor I. Wibowo dan Francis Wahono, cet. i, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 19.

[6] Ibid, hal. 19-20.

[7] Ibid, hal. 20.

[8] Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, What is Neoliberalism?, http://www.corpwatch.org/article.php?id=376

[9] I. Wibowo dalam Neoliberalisme, hal. 3-5.

[10] James Petras memandang Neoliberalisme dan globalisasi tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme yang memiliki watak imperialis. Lihat James Petras (13/11/2004), The Politics of Imperalism: Neoliberalism and Class Politics in Latin America, Counter Punch, http://counterpunch.org/petras11132004.html

[11] Survival of the fittest (seleksi alam) adalah istilah yang digunakan oleh Darwin untuk menjelaskan bagaimana hewan mempertahankan hidupnya. Ia mencontohkan serigala. Untuk mendapatkan masangnya, serigala memperolehnya sebagian dengan tipu muslihat, sebagian dengan kekuatan, sebagian lagi dengan kecepatan. Jika mangsa yang ada hanya rusa yang larinya cepat, sedangkan mangsa-mangsa lainnya yang lebih lemah jauh berkurang, maka serigala harus dapat memangsa rusa agar dapat bertahan hidup. Menurut Darwin, hanya serigala-serugala yang memiliki kekuatan dan kecepatan berlari serta ramping yang dapat memangsa rusa sehingga serigala inilah yang dapat bertahan hidup, sedangkan serigala-serigala yang lemah akan sulit bertahan hidup. Dengan cara inilah alam menyeleksi sendiri serigala mana yang dapat bertahan hidup. Lihat: Charles Darwin, The Origin of Species: Asal Usul Spesies, alih bahasa F. Susilohardo dan Basuki Hernowo, cet. I, (Yogyakart: Ikon Teralitera, 2002), hal. 96.

[12] Pandangan ini dimuat Spencer dalam bukunya Principles of Biology. Lihat Wikipedia, Survival of the Fittest, http://en.wikipedia.org/wiki/Survival_of_the_fittest

[13] Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, (Nizham al-Islam), alih bahasa Abu Amin dkk, cet. Ii (revisi), (Bogor: Pustaka Thariqul ‘Izzah, 2001), hal. 41.

[14] M. Amin Rais, Cakrawala Islam, cet. i, (Bandung: Mizan, 1987), hal. 91.

[15] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang (History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day), alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 647

[16] Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya (Ad-Dimukratiyah Nizham al-kufr), alih bahasa M. Shiddiq al-Jawi, cet. II, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001), hal. 4-5. Lihat juga an-Nabhani, hal. 39.

[17] Ibid, hal. 77.

[18] An-Nabhani, hal. 40.

[19] Mark Skousen, hal. 397-398.

[20] Sebagai individu, saat dewasa Keynes menyukai hubungan sejenis. Keynes menganggap dirinya sebagai orang yang menjijikkan. Ia merupakan anggota Apostles, yakni sebuah masyarakat rahasia di Cambridge. Apostles di masa kepemimpinan G.E. More menganggap homoseksualitas secara moral adalah superior (lihat Mark Skousen, hal. 400). Keperibadian Keynes ini menunjukkan bagaimana cara berpikir sekuler dengan paham kebebasan individunya sangat mempengaruhi tata perilaku Keynes termasuk pemikiran-pemikirannya di bidang ekonomi.

[21] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), cet. i, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 3.

[22] Lihat James Petras.

[23] An-Nabhani, hal. 51.

[24] Presiden Prancis Nicolas Sarkozy mendeklarasikan bahwa sistem pasar sebagai jalan terbaik telah berakhir. Sarkozy mengatakan: “The idea of the all-powerful market that must not be constrained by any rules, by any political intervention, was mad. The idea that markets were always right was mad.” Lihat: Elitsa Vucheva, France: Laissez-Faire Capitalism is Over, http://www.businessweek.com/globalbiz/content/sep2008/gb20080929_019959.htm

[25] Presiden AS George W. Bush secara politis tidak mau mengakui krisis finansial sebagai bukti kegagalan sistem pasar. Dalam KTT APEC di Lima, Peru, Bush bahkan sangat yakin sistem pasar bebas sebagai jalan keluar atas krisis keuangan global. Lihat BBC Indonesia, Bush Andalkan Pasar Bebas, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/11/081122_bushapec.shtml

[26] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (an-nidlam al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. vii, (Surabaya: Risalah Gusti), hal. 29.

By : Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI


Tidak ada komentar: