Selasa, 11 Agustus 2009

Saudara yang terdzalimi

Muslim Uighur juga manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup dan bebas dari penjajahan bangsa lain. Namun pembantaian terakhir yang dilakukan aparat China dan etnis Han di Umruqi, dunia tidak bereaksi untuk mencegahnya. Terlebih, negeri-negeri muslim yang memiliki ikatan akidah Islam, diam “seribu bahasa” atas genosida muslim Uighur.

Hingga saat ini, kita belum melihat reaksi tegas dan keras pemerintah Indonesia terhadap kejahatan China di Xinjiang baru-baru ini. Yang kita dengar justru pernyataan Duta Besar Indonesia untuk China, Sudrajat yang menegaskan bahwa Indonesia tidak ingin dan tidak akan pernah mencampuri urusan dalam negeri China. Sudrajat mengatakan:

“Apa yang terjadi di Xinjiang adalah urusan dalam negeri China dan kita menghormati kedaulatannya dan tidak akan campur tangan masalah itu.” (Antara, 12/7/2009)

Pemerintah Indonesia seolah-solah menyatakan bahwa genosida Muslim Uighur bukanlah masalah kemanusiaan yang harus dihentikan. Padahal menurut sumber di Wall Street Journal, sudah lebih dari 400 Muslim Uighur dibunuh. Namun, Indonesia lebih mempertimbangkan aspek nasionalisme dan modal.

Nasionalisme telah menjadikan pemerintah Indonesia hanya berpikir sebatas teritorial saja dan melupakan aspek kesamaan akidah yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia dan aspek kemanusiaan.

Nasionalisme telah menjebak negeri kita dalam cara berpikir jahiliyah. Padahal sejarah telah mencatat Rasulullah SAW sangat marah dengan pernyataan sahabat yang mengunggulkan nasionalisme Ansar dan nasionalisme Muhajirin. Rasul mengatakan: “apakah kamu masih menyerukan seruan-seruan Jahiliyah, padahal aku masih ada di tengah-tengah kamu?”. Dalam sebuah hadis Rasulullah juga bersabda:

“Barangsiapa berperang dibawah bendera kesesatan, ia marah karena kebangsaan, menyeru kepada kebangsaan (Ashabiyyah), atau membela kebangsaan, kemudian ia mati, maka kematiannya adalah mati jahiliyah.”(HR Muslim)

Di sisi lain, perkembangan China yang menjelma menjadi salah satu raksasa ekonomi baru dengan cadangan devisa di atas satu trilyun dollar telah menutup jalan pikiran pemerintah. Pemerintah lebih mempertimbangkan aspek modal dan ekonomi dibandingkan “pembunuhan manusia” yang dilakukan China. Tentunya pemerintah khawatir jika China menarik investasinya dan membatalkan kontrak-kontrak kerjasama ekonomi dengan Indonesia.

Masalah Muslim Uighur adalah masalah kemanusiaan di mana mereka memiliki hak yang sama sebagaimana manusia lainnya yang ingin hidup dengan aman, bebas dari penjajahan, dan berhak atas tanahnya sendiri. Masalah ini juga masalah bersama bagi kaum Muslimin di seluruh dunia yang berkewajiban membebaskan mereka dari penjajahan China. Dan sekali lagi, solusi masalah ini secara tuntas adalah dengan membebaskan kaum Muslim dari sekat-sekat jahiliayah nasionalisme dan bersatu dalam institusi Islam, yakni Khilafah. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/ www.jurnal-ekonomi.org]

Tidak ada komentar: